Sejarah Dan Perkembangan HKI Indonesia
Sejarah Dan Perkembangan HKI Indonesia
Dosen : Dr. Agus Sardjono S.H., M.H.
Selama
ini berbagai usaha untuk menyosialisasikan penghargaan atas Hak atas
Kekayaaan Intelektual (HaKI) telah dilakukan secara bersama-sama oleh
aparat pemerintah terkait beserta lembaga-lembaga pendidikan dan lembaga
swadaya masyarakat. Akan tetapi sejauh ini upaya sosialisasi tersebut
tampaknya belum cukup berhasil.
Ada
beberapa alasan yang mendasarinya. Pertama, konsep dan perlunya HaKI
belum dipahami secara benar di kalangan masyarakat. Kedua, kurang
optimalnya upaya penegakan, baik oleh pemilik HaKI itu sendiri maupun
aparat penegak hukum. Ketiga, tidak adanya kesamaan pandangan dan
pengertian mengenai pentingnya perlindungan dan penegakan HaKI di
kalangan pemilik HaKI dan aparat penegak hukum, baik itu aparat
Kepolisian, Kejaksaan maupun hakim.
Dalam
praktik pergaulan internasional, HaKI telah menjadi salah satu isu
penting yang selalu diperhatikan oleh kalangan negara-negara maju di
dalam melakukan hubungan perdagangan dan/ atau hubungan ekonomi lainnya.
Khusus dalam kaitannya dengan dengan Amerika Serikat misalnya, hingga
saat ini status Indonesia masih tetap sebagai negara dengan status
'Priority Watch List' (PWL) sehingga memperlemah negosiasi.
Globalisasi
yang sangat identik dengan free market, free competition dan
transparansi memberikan dampak yang cukup besar terhadap perlindungan
HaKI di Indonesia. Situasi seperti ini pun memberikan tantangan kepada
Indonesia, di mana Indonesia diharuskan untuk dapat memberikan
perlindungan yang memadai atas HaKI sehingga terciptanya persaingan yang
sehat yang tentu saja dapat memberikan kepercayaan kepada investor
untuk berinvestasi di Indonesia.
Lebih
dari itu, meningkatnya kegiatan investasi yang sedikit banyak
melibatkan proses transfer teknologi yang dilindungi HaKI-nya akan
terlaksana dengan baik, apabila terdapat perlindungan yang memadai atas
HaKI itu sendiri di Indonesia.
Mengingat
hal-hal tersebut, tanpa usaha sosialisasi di berbagai lapisan
masyarakat, kesadaran akan keberhargaan HaKI tidak akan tercipta.
Sosialisasi HaKI harus dilakukan pada semua kalangan terkait, seperti
aparat penegak hukum, pelajar, masyarakat pemakai, para pencipta dan
yang tak kalah pentingnya adalah kalangan pers karena dengan kekuatan
tinta kalangan jurnalis upaya kesadaran akan pentingnya HAKI akan
relatif lebih mudah terwujud.
Upaya
sosialisasi perlu dilakukan oleh semua stakeholder secara sistematis,
terarah dan berkelanjutan. Selain itu target audience dari kegiatan
sosialisasi tersebut harus dengan jelas teridentifikasi dalam setiap
bentuk sosialisasi, seperti diskusi ilmiah untuk kalangan akademisi,
perbandingan sistem hukum dan pelaksanaannya bagi aparat dan praktisi
hukum, dan lain-lain.
HaKI
adalah instrumen hukum yang memberikan perlindungan hak pada seorang
atas segala hasil kreativitas dan perwujudan karya intelektual dan
memberikan hak kepada pemilik hak untuk menikmati keuntungan ekonomi
dari kepemilikan hak tersebut. Hasil karya intelektual tersebut dalam
praktek dapat berwujud ciptaan di bidang seni dan sastra, merek,
penemuan di bidang teknologi tertentu dan sebagainya.
Melalui
perlindungan HaKI pula, para pemilik hak berhak untuk menggunakan,
memperbanyak, mengumumkan, memberikan izin kepada pihak lain untuk
memanfaatkan haknya tersebut melalui lisensi atau pengalihan dan
termasuk untuk melarang pihak lain untuk menggunakan, memperbanyak
dan/atau mengumumkan hasil karya intelektualnya tersebut.
Dengan
kata lain, HaKI memberikan hak monopoli kepada pemilik hak dengan tetap
menjunjung tinggi pembatasan-pembatasan yang mungkin diberlakukan
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Hak
cipta memberikan perlindungan terhadap karya musik, karya sastra, drama
dan karya artistik, termasuk juga rekaman suara, penyiaran suara film
dan pertelevisian program komputer. Di samping hak cipta, ada pula hak
atas merek yang pada dasarnya memberikan perlindungan atas tanda-tanda
(berupa huruf, angka, dan sebagainya) yang digunakan dalam kegiatan
perdagangan barang atau jasa.
Desain
industri adalah suatu kreasi tentang bentuk, konfigurasi atau komposisi
garis atau warna, atau garis dan warna, atau gabungan daripadanya yang
berbentuk tiga demensi yang memberikan kesan estetis dan dapat
diwujudkan dalam pola tiga dimensi atau dua dimensi.
Selain
itu juga dapat dipakai untuk menghasilkan suatu produk, barang,
komoditas industri atau kerajinan tangan. Untuk suatu invensi baru di
bidang teknologi, perlindungan paten dapat diberikan.
Selain
hak-hak itu, perlindungan diberikan pada unsur-unsur lain dalam HaKI,
seperti desain tata letak sirkuit terpadu, rahasia dagang dan varietas
tanaman baru, untuk mencegah pihak lain memanfatkan dengan tujuan
komersial tanpa izin sah dari pemegang hak. Dari kesemua hak yang
disebutkan di atas, hampir semuanya memerlukan pendaftaran dari si
pemilik hak agar dapat memperoleh perlindungan.
Berdasarkan
praktik, belum begitu memasyarakatnya HaKI menyebabkan perlindungan
yang diberikan pemerintah belum optimal. Untuk itu pemilik hak perlu
melakukan langkah-langkah non-legal untuk menegaskan kepemilikan haknya,
dan juga menegaskan kepada pihak-pihak lain bahwa mereka akan mengambil
tindakan yang tegas terhadap segala upaya penggunaan atau pemanfaatan
secara tidak sah atas haknya tersebut.
Dalam
sebuah seminar HaKI berapa waktu lalu, menegaskan bahwa upaya
perlindungan HaKI di Indonesia tidak cukup dengan menyerahkan
perlindungan kepada aparat atau sistem hukum yang ada, tetapi perlu
langkah-langkah non-legal. Langkah itu di antaranya adalah pemberian
informasi mengenai kepemilikan HaKI oleh pemilik hak, survei lapangan,
peringatan kepada pelanggar, dan sebagainya.
Harus
kita akui, sampai sekarang keberadaan produk-produk yang melanggar
HaKI, khususnya merek dan hak cipta dengan sangat mudah bisa kita
dapatkan. Mulai di tempat perbelanjaan kelas bawah hingga mal dan pusat
perbelanjaan mewah. Contohnya produk software, musik dan film VCD atau
DVD.
Bahkan baru-baru ini di
media massa ditemukannya pelanggaran atas merek terhadap produk suku
cadang Daihatsu. Beruntung pemilik merek segera melaporkan pemalsuan
tersebut ke Kepolisian sehingga ada pelanggar yang bisa diadili di
Pengadilan Negari Jakarta Barat dan beberapa kali muncul permohonan maaf
dari para pelanggar yang menjual produk palsu tersebut.
Namun
apakah upaya pemilik hak atas merek Daihatsu itu mendapatkan respon
yang baik dari penegak hukum? Tentunya itulah harapan kita semua. Jika
tidak, upaya yang dilakukan pemegang merek akan sia-sia dan itu akan
menurunkan upaya penegakan hukum di negeri ini. Karena persoalan
tersebut menyangkut investasi dan sorotan dunia internasional dalam
menegakkan HaKI di Indonesia.
Pemerintahan
baru dalam Kabinet Indonesia Bersatu, hendaknya melihat upaya penegakan
hukum sebagai peristiwa yang penting untuk memulihkan citra Indonesia
di mata dunia, khususnya mata investor. Sangat diharapkan, pemerintahan
baru dapat melanjutkan komitmen dalam penegakan perlindungan HaKI.
Sebagaimana
dijanjikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam kampanyenya
beberapa waktu lalu, masalah pembajakan yang tidak lepas dari HaKI akan
menjadi salah satu agenda untuk segera ditanggulangi, di samping sejuta
masalah lain yang tengah dihadapi oleh negeri tercinta ini.
Komitmen
aparat pemerintah dan kepolisian, yang merupakan salah satu elemen
kunci dalam penegakan HaKI di Indonesia sangat diharapkan
konsistensinya. Lembaga peradilan tentu saja tidak dapat dilepaskan dari
tanggung jawab atas suksesnya penegakan HaKI di Indonesia.
Dari
istilah Hak atas kekayaan intelektual, paling tidak ada 3 kata kunci
dari istilah tersebut yaitu :Hak, kekayaan dan intelektual. Hak adalah
benar, milik, kepunyaan, kewenangan, kekuasaan untuk berbuat sesuatu (
karena telah ditentukan oleh undang-undang ), atau wewenang wewenang
menurut hukum.
Kekayaan
adalalah prihal yang ( bersifat, ciri ) kaya, harta yang menjadi milik
orang, kekuasaan Intelektual adalah Cerdas, bera- kal dan berpikiran
jernih berdasarkan ilmu pengetahuan, atau yang mempunyai kecerdasan
tinggi, cendikiawan, atau totalitas pen
gertian
atau kesadaran terutama yang menyangkut pemikiran dan
pemahaman.Kekayaan intelektual adalah kekayaan yang timbul dari
kemampuan intelektualmanusia yang dapat berupa karya di bidang
teknologi, ilmu pengetahuan, seni dan sastra. Karya ini dihasilkan atas
kemampuan intelektual melaluipemikiran, daya cipta dan rasa yang
memerlukan curahan tenaga, waktu dan biaya untuk memperoleh "produk"
baru dengan landasan kegiatan penelitian atau yang sejenis.
Hak
Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) atau Hak Milik Intelektual (HMI) atau
harta intelek (di Malaysia) ini merupakan padanan dari bahasa Inggris
intellectual property right. Kata "intelektual" tercermin bahwa obyek
kekayaan intelektual tersebut adalah kecerdasan, daya pikir, atau produk
pemikiran manusia (the creations of the human mind) (WIPO,
1988:3).Secara substantif pengertian HaKI dapat dideskripsikan sebagai
hak atas kekayaan yang timbul atau lahir karena kemampuan intelektual
manusia. Karya-karya intelektual tersebut dibidang ilmu pengetahuan,
seni, sastra ataupun teknologi, dilahi rkan dengan pengorbanan tenaga,
waktu dan bahkan biaya.
Adanya
pengorbanan tersebut menjadikan karya yang dihasilkan menjadi memiliki
nilai. Apabila ditambah dengan manfaat ekonomi yang dapat dinikmati,
maka nilai ekonomi yang melekat menumbuhkan konsepsi kekayaan (Property)
terhadap karya-karya intelektual. Bagi dunia usaha, karya-karya itu
dikatakan sebagai assets perusahaan.
Kalau dilihat secara historis,
undang-undang mengenai HaKI pertama kali ada di Venice, Italia yang
menyangkut masalah paten pada tahun 1470. Caxton, Galileo dan Guttenberg
tercatat sebagai penemu-penemu yang muncul dalam kurun waktu tersebut
dan mempunyai hak monopoli atas penemuan mereka.
Hukum-hukum
tentang paten tersebut kemudian diadopsi oleh kerajaan Inggris di jaman
TUDOR tahun 1500-an dan kemudian lahir hukum mengenai paten pertama di
Inggris yaitu Statute of Monopolies (1623). Amerika Serikat baru
mempunyai undang-undang paten tahun 1791. Upaya harmonisasi dalam bidang
HaKI pertama kali terjadi tahun 1883 dengan lahirnya Paris Convention
untuk masalah paten, merek dagang dan desain. Kemudian Berne Convention
1886 untuk masalah copyright atau hak cipta.
Tujuan
dari konvensi-konvensi tersebut antara lain standarisasi, pembahasan
masalah baru, tukar menukar informasi, perlindungan mimimum dan prosedur
mendapatkan hak. Kedua konvensi itu kemudian membentuk biro
administratif bernama the United International Bureau for the Protection
of Intellectual Property yang kemudian dikenal dengan nama World
Intellectual Property Organisation (WIPO). WIPO kemudian menjadi badan
administratif khusus di bawah PBB yang menangani masalah HaKI anggota
PBB.
Sebagai tambahan pada
tahun 2001 World Intellectual Property Organization (WIPO) telah
menetapkan tanggal 26 April sebagai Hari Hak Kekayaan Intelektual
Sedunia. Setiap tahun, negara-negara anggota WIPO termasuk Indonesia
menyelenggarakan beragam kegiatan dalam rangka memeriahkan Hari HKI
Sedunia
Sejak
ditandatanganinya persetujuan umum tentang tariff dan perdagangan (GATT)
pada tanggal 15 April 1994 di Marrakesh-Maroko, Indonesia sebagai salah
satu negara yang telah sepakat untuk melaksanakan persetujuan tersebut
dengan seluruh lampirannya melalui Undang-undang No. 7 tahun 1994
tentang Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Lampiran
yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual (HaKI) adalah Trade
Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIP’s) yang merupakan
jaminan bagi keberhasilan diselenggarakannya hubungan perdagangan antar
Negara secara jujur dan adil, karena :
1. TRIP’s menitikberatkan kepada norma dan standard
2. Sifat persetujuan dalam TRIP’s adalah Full Complience atau ketaa
tan yang bersifat memaksa tanpa reservation
3. TRIP’s memuat ketentuan penegakan hukum yang sangat ketat de
ngan mekanisme penyelesaian sengketa diikuti dengan sanksi yang
bersifat retributif.
Tumbuhnya
konsepsi kekayaan atas karya-karya intelektual pada akhirnya juga
menimbulkan untuk melindungi atau mempertahankan kekayaan tersebut. Pada
gilirannya, kebutuhan ini melahirkan konsepsi perlindungan hukum atas
kekayaan tadi, termasuk pengakuan hak terhadapnya. Sesuai dengan
hakekatnya pula, HaKI dikelompokan sebagai hak milik perorangan yang
sifatnya tidak berwujud (Intangible).
Pengenalan
HaKI sebagai hak milik perorangan yang tidak berwujud dan penjabarannya
secara lugas dalam tatanan hukum positif terutama dalam kehidupan
ekonomi merupakan hal baru di Indonesia. Dari sudut pandang HaKI, aturan
tersebut diperlukan karena adanya sikap penghargaan, penghormatan dan
perlindungan tidak saja akan memberikan rasa aman, tetapi juga
mewujudkan iklim yang kondusif bagi peningkatan semangat atau gairah
untuk menghasilkan karya-karya inovatif,inventif dan produktif.
Jika
dilihat dari latar belakang historis mengenai HaKI terlihat bahwa di
negara barat (western) penghargaan atas kekayaan intelektual atau apapun
hasil olah pikir individu sudah sangat lama diterapkan dalam budaya
mereka yang kemudian ditejemahkan dalam perundang-undangan.
HaKI
bagi masyarakat barat bukanlah sekedar perangkat hukum yang digunakan
hanya untuk perlindungan terhadap hasil karya intelektual seseorang akan
tetapi dipakai sebagai alat strategi usaha dimana karena suatu penemuan
dikomersialkan atau kekayaan intelektual, memungkinkan pencipta atau
penemu tersebut dapat mengeksploitasi ciptaan/penemuannya secara
ekonomi. Hasil dari komersialisasi penemuan tersebut memungkinkan
pencipta karya intelektual untuk terus berkarya dan meningkatkan mutu
karyanya dan menjadi contoh bagi individu atau pihak lain, sehingga akan
timbul keinginan pihak lain untuk juga dapat berkarya dengan lebih baik
sehingga timbul kompetisi.Perkembangan Haki di Indonesia
Pada
awal tahun 1990, di Indonesia, HAKI itu tidak populer. Dia mulai
populer memasuki tahun 2000 sampai dengan sekarang. Tapi, ketika
kepopulerannya itu sudah sampai puncaknya, grafiknya akan turun. Ketika
dia mau turun, muncullah hukum siber, yang ternyata kepanjangan dari
HAKI itu sendiri. Jadi, dia akan terbawa terus seiring dengan ilmu-ilmu
yang baru. Tapi kalau yang namanya HAKI dan hukum siber itu prediksi
saya akan terus berkembang pesat, seiring dengan perkembangan teknologi
informasi yang tidak pernah berhenti berinovasi.
Inilah kira-kira perubahan undang-undang perjalanan perundangn-undang HAKI
di
Indonesia sebagai berikut : UU No 6 Tahun 1982 -------> diperbaharui
menjadi UU No 7 Tahun 1987------ > UU No 12 Tahun 1992------>
Terakhir, UU tersebut diperbarui menjadi UU No 19 Tahun 2002 tentang Hak
Kekayan Intelektual yang disahkan pada 29 Juli 2002 ternyata
diberlakukan untuk 12 bulan kemudian, yaitu 19 Juli 2003, inilah
kemudian menjadi landasan diberlakukannya UU HAKI di Indonesia.
Apakah
pemberlakuan HAKI merupakan “kelemahan” Indonesia terhadap
Negara-negara maju yang berlindung di balik WTO ? Konsekuensi
HAKI/akibat diberlakukannya HAKI :
1. Pemegang hak dapat memberikan izin atau lisensi kepada pihak lain.
2. Pemegang hak dapat melakukan upaya hukum baik perdata maupun
pidana dengan masyarakat umum.
3. Adanya kepastian hukum yaitu pemegang dapat melakukan usahanya
dengan tenang tanpa gangguan dari pihak lain.
4.
pemberian hak monopoli kepada pencipta kekayaan intelektual
memungkinkan pencipta atau penemu tersebut dapat mengeksploitasi
ciptaan/penemuannya secara ekonomi. Hasil dari komersialisasi penemuan
tersebut memungkinkan pencipta karya intektual untuk terus berkarya dan
meningkatkan mutu karyanya dan menjadi contoh bagi individu atau pihak
lain, sehingga akan timbul keinginan pihak lain untuk juga dapat
berkarya dengan lebih baik sehingga timbul kompetisi.
Empat jenis utama dari HAKI adalah:
• Hak cipta (copyright)
• Paten (patent)
• Merk dagang (trademark)
• Rahasia dagang (trade secret)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar